(... Sambungan) Dari penjelasan singkat teori di atas, ada satu poin penting yang tersirat mengenai penanganan inflasi. Satu hal yang sebenarnya sangat dimengerti oleh para pengambil kebijakan, tetapi kondisi yang ada menunjukkan sebaliknya. Poin penting yang dimaksud adalah ekspektasi inflasi. Masih merupakan kelanjutan dari penjelasan teori di atas, peran dari ekspektasi inflasi terlihat sebagai berikut (Mishkin 2008): Pertama, adanya ekpektasi terhadap kebijakan dan kondisi ekonomi di masa depan akan memainkan peran besar dalam menentukan efek dari kebijakan ekonomi yang diambil saat ini. Kedua, kebijakan moneter paling efektif ketika bank sentral teguh pada tujuannya menjaga inflasi tetap rendah dan stabil melalui kebijakan dan pernyataan yang dikeluarkannya. Dilihat dari kedua poin tersebut, kami memandang bahwa otoritas moneter, yakni BI, telah menjalankan tugasnya dengan baik. Ini terbukti dengan melihat pada kebijakan yang diambil oleh BI untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunganya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, kenapa akhirnya inflasi tetap tinggi dan begitu juga ekspektasi inflasi? Selain memang karena faktor global yang tidak terkendali, ada dua penyebabnya. Otoritas moneter, BI, sebenarnya telah baik dalam menjalankan tugasnya sehingga seharusnya ekspektasi inflasi bisa tetap terjaga. Namun harus diakui kasus yang menimpa BI terkait dengan aliran suap ke DPR dan juga berlarutnya proses pemilihan Gubernur BI mempengaruhi ekpektasi tersebut. Segala kebijakan yang diambil BI akan sia-sia karena adanya faktor-faktor X tersebut. Terlepas dari sisi moneter, yang kami anggap telah maksimal berusaha, terkait dengan masalah inflasi ini, sisi fiskal yang masih menjadi masalah. Tidak berjalannya sektor riil, infrastruktur yang belum baik, misalnya, menyebabkan timbulnya masalah, baik dari sisi demand maupun suplai. Belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya malah menyebabkan distorsi pada inflasi. Seperti yang pernah dibahas dalam jurnal ini sebagai "Policy Induced Distortion". Kesemuanya berujung pada tingginya inflasi dan rakyat menjadi korbannya. Ketidakmampuan pemerintah itupun berakibat pada ekspektasi inflasi yang tinggi, seperti yang terungkap dalam hasil jajak pendapat Syahrir Research bulan ini. Melihat itu, pemerintah harus segera berbenah. Segera selesaikan masalah pencalonan Gubernur BI dengan memilih calon yang kredibel dan tentunya tidak memicu perdebatan lagi - segi akseptabilitas menjadi poin penting disini. Dengan dipilihnya calon dengan kriteria seperti itu, diharapkan pengaruh-pengaruh faktor X tadi bisa digerus perlahan-lahan. Oleh karenanya, pencalonan Boediono sebagai calon tunggal Gubernur BI adalah langkah yang tepat. Namun, satu hal, seandainya Boediono terpilih menjadi Gubernur BI, independensi bank sentral sedianya harus tetap dijaga. Di sisi lain, pertemuan rutin yang mulai dilakukan oleh pemerintah dan BI juga merupakan sesuatu yang baik. Namun, pemerintah sendiri harus segera melakukan langkah-langkah konkrit terhadap berbagai permasalahan yang selama ini belum juga selesai, terutama kami melihatnya pada masalah infrastruktur. Masalah pada infrastruktur menimbulkan masalah pada akses pasar, meningkatnya ongkos transportasi, lalu kemudian lambatnya distribusi, yang kesemuanya bisa berujung pada masalah inflasi. Hanya satu setengah tahun bersisa pemerintahan SBY-JK. Tentu tidak lucu jika akhirnya pemerintahan SBY-JK jatuh karena aksi turun ke jalan menuntut turunnya harga. Apalagi popularitas SBY sampai saat ini masih belum disaingi oleh tokoh-tokoh lainnya. Atau malah tingginya popularitas ini yang membuat SBY menjadi terlena? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Syahrir Research April 2008 |
Senin, 14 April 2008
Wajah Seram Inflasi Part III: What Should be Done?
Wajah Seram Inflasi Part II: Kenapa Harus Inflasi?
(... Sambungan) Seperti pernah diungkapkan dalam jurnal ini, di mata masyarakat, inflasi adalah istilah ekonomi paling populer, jauh lebih populer dibandingkan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, atau istilah-istilah ekonomi lainnya. Sesuatu yang wajar, mengingat masalah ini yang paling awal bersentuhan langsung dengan segala lapisan masyarakat. Dari tataran teori, pentingnya stabilitas dan rendahnya tingkat inflasi juga sangat ditekankan. Dan itu juga alasan kenapa tugas itu diserahkan pada satu lembaga besar, otoritas moneter seperti BI. Padahal kalau kita berpikir secara singkat, kadang akan muncul pertanyaan, kenapa lembaga sebesar BI tugasnya hanya mengurus inflasi saja? Bukannya itu pemborosan? Tapi tentu jawabannya tidak sesederhana itu. Secara teori maupun pembuktian empirik menunjukkan bahwa stabilitas inflasi dapat memperkuat aktivitas perekonomian (terutama dalam jangka panjang) dengan dua alasan mendasar, tetapi dalam tulisan ini akan dibahas alasan pertama saja, dengan alasan ini yang lebih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang. Adanya inflasi yang rendah bermanfaat bagi kesejahteraan ekonomi. Ini jelas, mengingat inflasi yang rendah berarti daya beli masyarakat akan tinggi. Selain itu, keberadaan inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kebingungan pada masyarakat dalam melakukan pilihan tabungan dan investasinya (Lucas, 1972; Briault, 1995; Shafir, Diamond, and Tversky, 1997), seperti diungkapkan juga oleh Mishkin (2008). Kenapa bisa begitu? Inflasi yang tinggi akan lebih menimbulkan ketidakpastian akan harga di mata masyarakat dan ketidakpastian ini akan mendistorsi keputusan masyarakat. Misal: seharusnya A akan optimal ketika melakukan investasi di misalkan sektor C, tapi A akhirnya memilih untuk berdiam diri dulu karena tingginya angka inflasi. Akibatnya terjadi realokasi sumber daya yang tidak efisien. Lebih jauh, keberadaan inflasi bisa mempengaruhi kegiatan produksi. Dalam sebuah penelitiannya Briault (1995) menunjukkan adanya pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan produktivitas di UK dan US. Ketika inflasi meningkat, produktivitas akan menurun. Tapi penjelasan di atas tentu bisa dikatakan masih dalam tataran text-book belaka. Padahal bila kita melihat dalam dunia nyata, pentingnya inflasi bisa jadi lebih besar. Bila kita coba lihat perjalanan sejarah Indonesia, ada dua cerita yang bisa menjadi contoh. Kasus Tritura dan jatuhnya Soeharto pada tahun 1998. Pada dua cerita tersebut, gerakan mahasiswa muncul dengan begitu dahsyat dengan salah satu pemicu dan tuntutannya adalah turunkan harga. Kedua pengalaman tersebut menjadi bukti nyata dan sahih pentingya inflasi. Inflasi mampu menjatuhkan pemimpin nomor satu negara ini. Melihat ini, sudah sewajarnya Pemerintah SBY-JK perlu was-was dalam menyikapi kenaikan harga yang terjadi saat-saat ini. Apalagi bila second round effect seperti dibahas pada tataran teori di atas telah terjadi. Target tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, ataupun kemiskinan bisa jauh panggang dari api bila inflasi tidak berhasil dikendalikan. Dan perlu diingat, aksi-aksi mahasiswa mengangkat permasalahan inflasi ini perlahan-lahan mulai muncul. (Bersambung ...) |
Wajah Seram Inflasi Part I: Pendahuluan
Dalam sebuah kelas Makroekonomi, seorang mahasiswa S1 bertanya pada dosennya "Mungkin gak bu, pertumbuhan yang tinggi dicapai bersamaan dengan inflasi yang stabil dan tingkat pengangguran yang rendah?" Pertanyaan tersebut ditanggapi dengan antusias oleh sang dosen dan saking antusiasnya sang dosen berencana memasukkan pertanyaan itu ke dalam soal ujian. Tentu antusiasme sang dosen bukan sekadar antusiasme tanpa arti. Kendati terlihat sederhana, substansi pertanyaan tersebut sangat penting dalam ilmu ekonomi dan lebih jauh, dalam konteks praktek penerapan kebijakan ekonomi di suatu negara. Dalam ilmu ekonomi, ada tiga indikator utama makroekonomi, yakni pertumbuhan, inflasi, dan tingkat pengangguran. Dan dalam suatu negara, ketiganya ingin dicapai sebaik mungkin, dalam artian tingkat pertumbuhan setinggi-setingginya, inflasi yang rendah dan stabil, serta tingkat pengangguran yang sangat rendah. Namun kendati tidak sepenuhnya mustahil, dalam jangka pendek, mencapai ketiganya sangat sulit. Ketika ingin pertumbuhan tinggi, inflasi terancam meningkat. Atau di sisi lain, ketika ingin inflasi rendah, tingkat pengangguran yang rendah akan lebih sulit dicapai, seperti yang tergambar dalam apa yang disebut "Kurva Philips". Melihat itu, dalam mengambil kebijakan dan target ekonominya, suatu negara harus cermat dan hati-hati dalam memutuskan indikator apa yang menjadi prioritas utama. Apakah inflasi, apakah pertumbuhan, atau apakah tingkat pengangguran? Salah satu contoh nyata dapat dilihat pada pengambilan kebijakan yang diambil di AS sekarang. Di tengah ancaman resesi, The Fed -- yang notabene tugasnya adalah menjaga kestabilan tingkat harga -- memutuskan untuk lebih mengutamakan peningkatan aktivitas perekonomian, demi mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan mengorbankan ancaman inflasi. Ini ditunjukkan dengan kebijakan pemotongan bunga yang sangat agresif. Belum lagi ditambah dengan stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan mampu mendorong sisi demand, seperti meningkatkan pengeluaran masyarakat, meski di sisi lain akan memicu peningkatan harga. Namun, lain di AS, lain pula di Indonesia. Saat ini Indonesia bisa dikatakan masih membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Begitu juga terkait dengan tingkat pengangguran. Masih tingginya angka pengangguran tentu perlu menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah. Namun, untuk saat ini, sudah seharusnya kedua indikator tersebut tidak menjadi prioritas utama pemerintah. Inflasi yang harus menjadi perhatian utama. Tingginya angka inflasi dalam tiga bulan pertama 2008 menjadi alasan di balik itu. Bahkan di bulan Maret ini, bulan yang secara tren adalah bulan dengan inflasi yang rendah, angkanya mencapai 0,95%, jauh lebih tinggi dibanding bulan Februari yang 0,65%. Tingginya inflasi bulan Maret juga ditandai dengan angka inflasi year on year yang mencapai 8%. Angka yang sudah lama tidak dicapai sejak Oktober 2006. Fakta ini menunjukkan betapa mengkhawatirkan masalah inflasi ini. Melihat itu, tentu menarik untuk membedah permasalahan inflasi. Apalagi di saat ini, BI, sang pengawal utama inflasi, juga mengalami gonjang-ganjing yang sedikit banyak akan berpengaruh pula terhadap proses pengendalian dan pengelolaan inflasi. (Bersambung ...) |
Kamis, 10 April 2008
Democracy: Killing Me Softly (With Capitalism) ??? Part IV -- The Ethics of Citizenship
(... Sambungan) Bila dirujuk lebih dalam, pertentangan antara kapitalisme dan demokrasi muncul akibat adanya dua kepribadian berbeda dalam individu manusia. Di satu sisi, manusia berperilaku sebagai makhluk ekonomi (sebagai konsumen atau investor) yang ingin memaksimasi keuntungannya, sementara di sisi lain, manusia bertindak sebagai makhluk sosial, bertindak sebagai seorang warga negara yang menginginkan terciptanya keadilan dalam masyarakat. Untuk sisi kedua dari manusia tersebut, konsep citizenship sangat berperan penting. |
Democracy: Killing Me Softly (With Capitalism) ??? Part III -- Kapitalisme vs Demokrasi Di Indonesia
(... Sambungan) Setali tiga uang, hubungan yang sama antara kapitalisme dan demokrasi terjadi di Indonesia. Selepas Orde Baru, demokrasi di Indonesia tumbuh dengan begitu pesat. Pelaksanaan Pemilu pada tahun 2004 merupakan bukti nyata di mata internasional kesuksesan demokrasi di Indonesia. Di mata internasional, Indonesia adalah negara paling demokrasi di Asia Tenggara. (Bersambung ...) |
Democracy: Killing Me Softly (With Capitalism) ??? Part II -- Kapitalisme vs Demokrasi
(... Sambungan) Dalam menjelaskan hubungan antara kapitalisme dan demokrasi banyak pendapat yang menganggap bahwa antara kapitalisme dan demokrasi tidaklah compatible. Salah satunya yang sungguh menarik adalah bila kita menyimak analogi yang digunakan Robert Dahl mengenai keduanya. Robert Dahl menganalogikan kapitalisme dan demokrasi dengan dua orang yang diikat oleh sebuah pernikahan yang dipenuhi oleh konflik dan bisa bertahan hanya karena masing-masing pihak tidak ada yang ingin melepaskan diri satu sama lain. Lebih jauh, Robert Dahl menganggap kapitalisme memberikan efek yang buruk pada demokrasi. (Bersambung ...) |
Democracy: Killing Me Softly (With Capitalism) ??? Part I -- Pendahuluan
Fenomena Barack Obama dalam Pemilu AS menarik banyak perhatian bukan hanya di AS, tetapi juga di seluruh dunia. Tren kemenangan yang mengejutkan dan pidato yang penuh inspirasi dari Barack Obama menjadi berita utama dari berbagai media dunia. Namun di balik tren kemenangan yang mengejutkan dan pidatonya yang penuh inspirasi itu, ada satu isu penting muncul dalam misi yang dibawa oleh Barack Obama. (Bersambung ...) |